Tinjauan Pertama: Status Perbankan Yang Tidak Jelas.
Perbankan syariat yang ada telah mengklaim, bahwa mudharabah
merupakan asas bagi berbagai transaksi yang mereka jalankan. Baik
transaksi antara nasabah pemilik modal dengan perbankan, atau transaksi
antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha. Sekilas, hal ini tidak
menjadi masalah, padahal masalah ini adalah masalah besar yang perlu
ditinjau ulang. Sebab, perbankan dalam hal ini memainkan status ganda
yang saling bertentangan. Untuk menjelaskan permasalahan ini, lihatlah
skema berikut:
Skema Peran Perbankan Syariah
Bank berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika berhubungan dengan nasabah (kreditur)
sebagai pemilik modal. Namun dalam sekejap status ini berubah, di mana
bank berperan sebagai pemodal, yaitu ketika pihak perbankan berhadapan
dengan pelaku usaha yang membutuhkan dana untuk mengembangkan
usahanya.
Status ganda yang diperankan oleh perbankan ini membuktikan, bahwa
akad yang sebenarnya dijalankan oleh perbankan selama ini adalah akad
utang piutang dan bukan akad mudharabah. Yang demikian itu
karena bila ia berperan sebagai pelaku usaha, maka status dana yang ada
padanya adalah amanah yang harus dijaga sebagaimana layaknya menjaga
amanah lainnya. Dan amanah dari pemodal ialah mengelola dana tersebut
dalam usaha nyata yang akan mendatangkan hasil (keuntungan), sehingga
tidak semestinya bank kembali menyalurkan modal yang ia terima dari
nasabah (pemodal) ke pengusaha lain dengan akad mudharabah.
Akan tetapi bila ia berperan sebagai pemodal, maka ini mendustakan
kenyataan yang sebenarnya, yaitu sebagian besar dana yang dikelola
adalah milik nasabah.
Imam an-Nawawi berkata, "Hukum kedua: tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ketiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah (pertama) dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad mudharabah
kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi, ia tidak dibenarkan untuk
mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan yang diperoleh.
Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua batil." (Raudhah ath-Thalibin oleh Imam an-Nawawi 5/132, silakan baca juga at-Tahdzib oleh Imam al-Baghawi 4/392, Mughni al-Muhtaj oleh asy-Syarbini 2/314, dan Syarikah al-Mudharabah Fii al-Fiqhi al-Islami, oleh Dr. Sa'ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu hal. 202).
Ucapan senada juga diutarakan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Hambali, ia
berkata, "Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan modal
(yang ia terima) kepada orang lain dalam bentuk mudharabah, demikian
penegasan Imam Ahmad.… Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah,
asy-Syafi'i dan aku tidak mengetahui ada ulama lain yang
menyelisihinya." (al-Mughni oleh Ibnu Qudamah al-Hambali, 7/156).
Dalam akad mudharabah, bila perbankan memerankan peranan
ganda semacam ini atas seizin pemodal, sedangkan ia tidak ikut serta
dalam menjalankan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha kedua, maka
bank tidak berhak mendapatkan bagian dari keuntungan, karena statusnya
hanyalah sebagai perantara (calo). Para ulama menjelaskan bahwa, alasan
hukum ini adalah karena hasil/keuntungan dalam akad mudharabah
hanyalah hak pemilik modal dan pelaku usaha, sedangkan pihak yang tidak
memiliki modal, dan tidak ikut serta dalam pelaksanaan usaha, maka ia
tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil (baca Al-Aziz oleh ar-Rafi'i 6/27-28, Raudhah ath-Thalibin oleh Imam an-Nawawi 5/132, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 7/158, Mughnil Muhtaaj oleh asy-Syarbini 2/314, dan Syarikatul Mudharabah Fil Fiqhil Islaamy oleh Dr. Saad bin Gharir as-Silmy, hal. 202).
Tinjauan Kedua: Bank Tidak Memiliki Usaha Riil.
Badan-badan keuangan yang menamakan dirinya sebagai perbankan syariah
seakan tidak sepenuh hati dalam menerapkan sistem perekonomian Islam.
Badan-badan tersebut berusaha untuk menghindari sunnatullah yang telah Allah Ta'ala tentukan dalam dunia usaha. Sunnatullah
tersebut berupa pasangan sejoli yang tidak mungkin dipisahkan, yaitu
untung dan rugi. Operator perbankan syariah senantiasa menghentikan
langkah syariat pada tahap yang aman dan tidak beresiko.
Oleh karena itu, perbankan syariah yang ada –biasanya- tidak atau
belum memiliki usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Semua
jenis produk perbankan yang mereka tawarkan hanyalah sebatas pembiayaan
dan pendanaan. Dengan demikian, pada setiap unit usaha yang dikelola,
peran perbankan hanya sebagai penyalur dana nasabah [metode ini
menjadikan kita kesulitan untuk mendapatkan perbedaan yang berarti
antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional. Dan mungkin
inilah yang menjadikan negara-negara kafir pun ikut berlomba-lomba
mendirikan perbankan syariah. Bahkan, beberapa negara kafir tersebut
–misalnya Singapura- telah memproklamirkan diri sebagai pusat
perekonomian syariah (perbankan syariah). Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila Majalah MODAL melansir pernyataan Bapak Muhaimin
Iskandar (Wakil Ketua DPR RI kala itu): Tidak ada istilah ekonomi
syariah dan ekonomi non-syariah, karena itu hanya soal penamaan saja.
(Majalah MODAL no. 18/II April 2004, hal. 19)].
Sebagai contoh nyata dari produk perbankan yang ada ialah mudharabah.
Operator perbankan tidak berperan sebagai pelaku usaha, akan tetapi
sebagai penyalur dana nasabah. Hal ini mereka lakukan karena takut dari
berbagai resiko usaha, dan hanya ingin mendapatkan keuntungan. Bila
demikian ini keadaannya, maka keuntungan yang diperoleh atau
dipersyaratkan oleh perbankan kepada nasabah pelaksana usaha adalah
haram, sebagaimana ditegaskan oleh beberapa ulama di antaranya
sebagaimana yang disebutkan oleh Imam an-Nawawi di atas.
Tinjauan Ketiga: Bank Tidak Siap Menanggung Kerugian.
Andaikata kita menutup mata dari kedua hal di atas, maka masih ada
masalah besar yang menghadang langkah perbankan syariah di negeri kita.
Hal tersebut ialah, ketidaksiapan operator perbankan untuk ikut
menanggung resiko mudharabah yang mereka jalin dengan para
pelaku usaha. Bila pelaku usaha mengalami kerugian walaupun tanpa
disengaja, niscaya kita dapatkan perbankan segera ambil langkah seribu
dengan cara meminta kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh.
Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah
pelaku usaha bukanlah mudharabah, akan tetapi utang piutang yang berbunga alias riba.
Para ulama dari berbagai mazhab telah menegaskan bahwa pemilik modal
tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan
jaminan seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan
pada perbankan syariah, yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk
mengembalikan seluruh modal dengan utuh bila terjadi kerugian usaha
adalah persyaratan yang batil (baca: al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 7/145, al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 38/64). Dan dalam ilmu fiqih, bila pada suatu akad terdapat persyaratan yang batil, maka solusinya yang ada adalah satu dari dua hal berikut:
1- Akad beserta persyaratan tersebut tidak sah, sehingga
masing-masing pihak terkait harus mengembalikan seluruh hak-hak lawan
akadnya.
2- Akad dapat diteruskan, akan tetapi dengan meninggalkan persyaratan tersebut.
Sebagai contoh, misalnya Bank Syariah Yogyakarta mengucurkan modal
kepada Pak Ahmad –misalnya- sebesar Rp. 100.000.000,- dengan perjanjian
bagi hasil 60% banding 40%. Setelah usaha berjalan dan telah jatuh
tempo, Pak Ahmad mengalami kecurian, atau gudangnya terbakar atau yang
serupa, sehingga modal yang ia terima dari bank hanya tersisa Rp.
20.000.000,-. Dalam keadaan semacam ini, Bank Syariah Yogyakarta akan
tetap meminta agar Pak Ahmad mengembalikan modalnya secara utuh, yaitu
Rp. 100.000.000,-.
Mungkin operator perbankan syariat akan berdalih, bahwa dalam dunia
usaha, uang kembali seperti semula tanpa ada keuntungan adalah kerugian.
Dengan demikian, perbankan telah ikut serta menanggung kerugian yang
terjadi. Maka kita katakan bahwa, alasan serupa juga dapat diutarakan
oleh pelaksana usaha; dalam dunia usaha, seseorang bekerja tanpa
mendapatkan hasil sedikit pun adalah kerugian. Andai ia bekerja pada
suatu perusahaan, niscaya ia akan mendapatkan gaji yang telah
disepakati, walau perusahaan sedang merugi. Bahkan dalam akad mudharabah dengan perbankan syariat, pelaku usaha merugi dua kali:
Pertama, ia telah bekerja banting tulang, peras keringat, dan pada
akhirnya tidak mendapatkan hasil sedikitpun. Kedua, ia masih juga harus
menutup kekurangan yang terjadi pada modal yang pernah ia terima dari
bank.
Contoh lain dari produk perbankan syariat ialah bai' al-murabahah.
Bentuknya kurang lebih demikian; bila ada seseorang yang ingin
memiliki motor, ia dapat mengajukan permohonan ke salah satu perbankan
syariah, agar bank tersebut membelikannya. Selanjutnya pihak bank akan
mengkaji kelayakan calon nasabahnya ini. Bila permintaannya diterima,
maka bank akan segera mengadakan barang yang dimaksud dan segera
menyerahkannya kepada pemesan, dengan ketentuan yang sebelumnya telah
disepakati (Bank Syariah dari Teori ke Praktek oleh Muhammad Syafi'i Antonio, 171).
Sekilas akad ini tidak bermasalah, akan tetapi bila kita cermati
lebih seksama, maka akan nampak dengan jelas bahwa pihak bank berusaha
untuk menutup segala resiko. Oleh karenanya, sebelum bank mengadakan
barang yang dimaksud, bank telah membuat kesepakatan jual beli dengan
segala ketentuannya dengan nasabah. Dengan demikian, bank telah menjual
barang yang belum ia miliki, dan itu adalah terlarang.
عن ابن عباس رضي الله عنهما
قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: (من ابتاع طعاما فلا يبعه حتى
يقبضه) قال ابن عباس:
وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام. متفق عليه
"Dari sahabat Ibnu 'Abbas radhiallahu ‘anhuma ia menuturkan,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang
membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia
selesai menerimanya.’ Ibnu 'Abbas berkata, ‘Dan saya berpendapat bahwa,
segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.’” (HR. Muttafaqun 'alaih).
Pemahaman Ibnu 'Abbas ini didukung oleh riwayat Zaid bin Tsabit radhillahu ‘anhu, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut,
عن ابن عمر قال: ابتعت زيتا في
السوق، فلما استوجبته لنفسي لقيني رجل فأعطاني به ربحا حسنا، فأردت أن
أضرب على يده، فأخذ رجل من خلفي بذراعي، فالتفت فإذا زيد بن ثابت فقال: لا
تبعه حيث ابتعته حتى تحوزه إلى رحلك فإن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم
نهى أن تباع السلع حيث تبتاع حتى يحوزها التجار إلى رحالهم. رواه أبو داود
والحاكم
"Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan, ‘Pada suatu saat saya
membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada
seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia
memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami
tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut), tiba-tiba ada
seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka aku pun menoleh,
dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata,
‘Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya, hingga
engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut
dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat
mereka masing-masing." (HR. Abu Dawud dan al Hakim, walaupun pada
sanadnya ada Muhammad bin Ishak, akan tetapi ia telah menyatakan
dengan tegas, bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya,
sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab at-Tahqiq. Baca Nasbu ar-Rayah, 4/43 , dan at-Tahqiq, 2/181).
Para ulama menyebutkan hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah
karena barang yang belum diserahterimakan kepada pembeli bisa saja batal
karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau
rusak terkena air dan lain-lain, sehingga ketika ia telah menjualnya
kembali ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Hikmah kedua, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu 'Abbas radhillahu ‘anhuma ketika muridnya yaitu Thawus mempertanyakan sebab larangan ini,
قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ.
"Saya bertanya kepada Ibnu 'Abbas, ‘Bagaimana kok demikian?’ Ia
menjawab, ‘Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham
dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda." (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Ibnu 'Abbas di atas sebagaimana
berikut, "Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar
–misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual,
sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia
menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung
menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan masih tetap
berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah
menjual/menukar uang 100 dinar dengan harga 120 dinar. Dan berdasarkan
penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan
saja." (Fathu al-Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, 4/348-349).
Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A
Artikel www.PengusahaMuslim.com
Artikel www.PengusahaMuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar