skip intro/masuk

Logo sciemics

Jumat, 25 Maret 2011

Ketika Orang Lain Berlari Lebih Cepat Dari Kita...

Share on :

Oleh Muhaimin Iqbal   
Kamis, 17 March 2011 07:11
Bila di dunia sepak bola kita sudah sangat terbiasa dengan berbagai kompetisi baik yang sifatnya nasional seperti LPI dan LSI, regional seperti AFF dan AFC, maupun yang kelas dunia World Cup, kini juga waktunya bagi  bangsa ini untuk aware akan adanya kompetisi jenis yang lain lagi – kompetisi yang langsung menyentuh hajat hidup orang banyak, yaitu kompetisi  kesempatan berusaha dan penciptaan lapangan kerja. Untuk yang terakhir ini, sebenarnya tanpa di sadari – mau tidak mau -  kita sudah terlibat didalamnya – tetapi mungkin karena ignorance  – membuat kita bertahun-tahun berada di urutan kelas bawang.

Kompetisi yang saya maksud adalah kompetisi dalam kemudahan berusaha yang tentu saja juga berakibat pada mudah tidaknya lapangan kerja tercipta. Setiap tahun sejak tahun 2004 Bank Dunia mengeluarkan laporan tentang tingkat kemudahan berusaha di masing-masing negara yang di upload  dalam situs khusus www.doingbusiness.org , dan laporan lengkapnya untuk masing-masing tahun dapat Anda unduh dari situs tersebut.

Untuk memahami arti pentingnya  ‘kompetisi’ kemudahan usaha ini , saya beri ilustrasi berikut.  Bila Anda seorang CEO dari perusahaan produsen produk-produk berteknologi tinggi di pasar global misalnya, di tingkat ASEAN saja Anda punya pilihan untuk menaruh pabrik Anda antara lain di antara Indonesia, Malaysia, Singapore, Thailand, Vietnam, Brunei atau Philipina.

Tanpa susah-susah melakukan survey yang costly, Anda cukup mengambil laporan terakhirnya World Bank dalam  Doing Business 2011 dari situs tersebut diatas ( kalau ingin tahu betapa mudahnya ambil data ini dan Anda lupa nama situsnya, cukup ke Google dan search keywords Doing Business 2011 – maka Anda sudah akan dituntun ke situs tersebut, laporan komplit dalam bentuk PDF-pun kini sudah ada di tangan Anda).  Dari laporan terakhir berdasarkan data tahun lalu misalnya, dengan mudah-lah Anda mengetahui siapa-siapa juaranya.

Dari 183 negara yang di survey, ternyata masih Singapore juaranya untuk tahun terakhir (sudah beberapa tahun Singapore menduduki posisi juara ini) - Singapore berada di urutan no 1 dalam kemudahan usaha, Thailand no 19, Malaysia nomor 21, Vietnam no 78, Brunei 112,  Indonesia no 121, Philipina no 148. Ini kalau yang jadi kriteria adalah kemudahan usaha secara umum, bila yang menjadi kriteria adalah kemudahan merintis usaha baru, maka urutannya menjadi Singapore no 4,  Thailand no 95, Vietnam no 100, Malaysia no 113,  Brunei 133, Indonesia no 155, dan Philipina no 156.

Walhasil dengan data dari lembaga yang sangat dianggap competent oleh dunia tersebut,  baik dari sisi kemudahan menjalankan usaha secara umum maupun kemudahan merintis usaha baru, Bila Anda bukan orang Indonesia  - kecil kemungkinan Anda memilih tempat berusaha di negeri ini. Inilah yang merepresentasikan daya saing kita dalam menarik investor asing, dan ini pula yang berdampak langsung pada kemudahan penciptaan lapangan kerja. Sebagian investor tentu masih invest di negeri ini, tetapi ini dilakukan melalui bursa saham yang uangnya setiap saat bisa ditarik lagi keluar (hot money) – atau untuk jenis industri yang pasar atau bahan bakunya memang adanya di negeri ini.

Mengapa di mata Bank Dunia, negara besar seperti Indonesia ini bisa begitu jauh tertinggal ? Menurut analisa saya sendiri ini karena kita kurang banyak berlatih. Di dalam negeri pemerintah-pemerintah daerah banyak berlomba untuk meraih piala Adhipura yang kurang jelas manfaatnya bagi kemakmuran rakyat, mereka kurang berlatih mempermudah usaha dan mempermudah penciptaan lapangan kerja – di daerahnya masing-masing.  Karena tidak ada yang memacu daerah-daerah ini untuk saling bersaing dalam kebaikan –kemudahan usaha/ penciptaan lapangan kerja – maka secara negara-pun kita tidak tampil prima ketika – sadar atau tidak sadar - harus berkompetisi dengan dunia luar.

Dalam bahasa makronya World Bank, sinyalemen saya tersebut antara lain terwakili oleh data sebagai berikut . Dalam hal kemudahan usaha lima tahun lalu (2006) kita berada di urutan no 115  dari 155 negara, kini kita berada di urutan 122 dari 187 negara. Lebih baik kah ?, harus diakui bahwa tidak semuanya buruk,  ada juga  perbaikan.

Dari sisi kemudahan usaha baru misalnya, lima tahun lalu untuk mendirikan usaha baru di Indonesia rata-rata harus melalui 12 prosedur dan memakan waktu rata-rata  151 hari, kini prosedur yang ditempuh tinggal 6 dan rata-ratanya ‘cuma’ perlu waktu 47 hari. Tetapi inilah yang saya sebut masih kurang berlatih tersebut, karena ternyata orang lain masih tampil jauh lebih prima lagi.

‘Juara dunia’ tahun 2006 adalah New Zealand,  di New Zealand saat itu untuk merintis usaha baru hanya perlu dua prosedur dan waktu rata-rata yang diperlukan hanya 12 hari. Kini untuk membuka usaha baru di New Zealand cukup menempuh 1 prosedur saja dan selesai dalam waktu satu hari. Dengan kinerja yang luar biasa inipun New Zealand hanya menduduki rangking no 4 tahun 2011, kalah jauh dari Singapore – yang memiliki berbagai keunggulan lainnya. Untuk memulai usaha baru, di salah negeri terdekat dengan kita tersebut hanya perlu 3 prosedur yang rata-rata dapat diselesaikan keseluruhannya dalam waktu tiga hari.

Kita tidak bisa hanya berpuas diri sibuk membenahi ini itu – tanpa melihat big picture yang terjadi di dunia sekitar kita. Dana investasi dunia diperebutkan secara global yang berarti juga ketersediaan lapangan kerja. Maka sama dengan dunia sepak bola di awal tulisan saya ini,  sebelum berkompetisi secara global –kita perlu membiasakan diri juga berkompetisi secara nasional dengan fair.

Yang bisa dilakukan misalnya, pemda-pemda di seluruh Indonesia dinilai kinerjanya dalam mempermudah usaha di daerahnya masing-masing – yang berarti juga kecepatan penciptaan lapangan kerja. Bila tingkat kemudahan usaha di setiap kabupaten/kotamadya di rangking dan diumumkan setiap tahun, maka kabupaten/kotamadya yang paling business friendly akan kebanjiran investor dan lapangan kerja. Ini agar menjadi pemicu kabupaten/kotomadya lain mengejar ketinggalannya. Kompetisi semacam ini yang akan dirasakan langsung oleh rakyat karena terkait langsung dengan lapangan kerja, kalau yang dilombakan Adhipura, apa yang diperoleh oleh rakyat ? mereka hanya kebagian kerjanya tetapi tidak menikmati apa-apa setelah kota/kabupatennya menerima piala Adhipura.

Kontrasnya layanan satu kabupaten/kodya dengan kabupaten/kodya lain di provinsi yang sama misalnya saya alami langsung ketika membina para peserta Pesantren Wirausaha untuk belajar berusaha – yang lokasinya berada di tiga kabupaten/kodya. Tidak adanya ‘kompetisi’ membuat kota atau kabupaten yang tertinggal tidak berusaha mengejar ketinggalannya – bahkan mungkin mereka menikmati ketertinggalannya. Di satu kabupaten misalnya upaya kita untuk menciptakan lapangan kerja mendapatkan penghargaan dari Bupati dan bahkan juga  Gubernurnya, tetapi di kota lain usaha penciptaan kerja yang  sama dihadang oleh peraturan administrative yang sangat tidak prinsipil.

Bila secara nasional kita tidak berlatih kompetisi yang sehat, lantas bagaimana kita bisa memenangkan kompetisi internasional-nya ?.  Hayo siapa yang mau mulai mengelola kompetisi ini ?. Insyaallah bermanfaat untuk menumbuhkan iklim usaha yang sehat dan percepatan penciptaan lapangan kerja. Bila ini kita lakukan, insyaAllah ada chance bagi kita untuk bisa menjadi ‘juara dunia’ baru dibidang ini sekian tahun yang akan datang. Amin.

0 komentar:

Posting Komentar